Abstract:
Tulisan ini hendak menawarkan suatu strategi dakwah Islam yang bersifat kultural. Dakwah di sini diartikan secara luas. Yakni, sosialisasi nilai-nilai keislaman, demi tersemainya nilai-nilai Islam itu di muka bumi. Jadi, dakwah dalam tulisan ini tidak bermakna formal, seperti para dai yang berkhotbah di panggung pengajian. Dakwah di sini diartikan sebagai persemaian nilai-nilai Islam dalam konteks publik, baik ranah kemanusiaan, kebangsaan, dan kebudayaan. Sebagai artefak budaya Islam Nusantara, Menara Kudus merupakan bukti tercantik dari suatu strategi dakwah yang bersifat kultural. Artinya, Sunan Kudus berdasarkan paradigma kebudayaan, telah menempatkan Islam secara substansial, sebagai kebudayaan. Dalam situasi ini, dakwah Islam akhirnya tidak bersifat ikonoklastik: penghancuran ikon lokal. Akan tetapi sebaliknya: mengaliri ”nafas kebajikan” masyarakat lokal. Berpijak dari strategi kultural Sunan Kudus inilah, kita bisa menunjukkan kepada dunia Islam, bahwa Islam yang selaras, adalah Islam dalam bentuk budaya. Bukan Islam politik, yang mendakwahkan agama melalui penguasaan negara, konstitusi, polisi syari’ah, dan peraturan daerah. Maka tak ayal lagi, Menara Kudus dan strategi dakwah kultural Sunan Kudus bisa menjadi counter discourse atas radikalisme Islam, yang mendakwahkan agama melalui gerakan politik.