Abstract:
Hadis merupakan sumber sekaligus acuan normatif dalam ajaran Islam, termasuk dalam praktik ‘amaliyyah dan ‘ubu>diyyah yang berlaku di lingkungan NU. Kajian tentang hadis Nabawi di lingkungan NU telah lama dilakukan, bahkan para kiai pendiri NU pada umumnya menggeluti ilmu berbasis hadis. Namun, bagaimana sikap kaum nahdliyyin terhadap hadis? Tulisan ini mencoba melihat bagaimana kajian hadis yang berjalan dalam tradisi intelektual NU. NU sebagai bagian dari gerakan intelektual benar-benar menunjukkan jati dirinya sebagai kaum tradisional yang konservatif. Dalam banyak masalah kehidupan, baik menyangkut ‘ubu>diyyah maupun sosial-budaya, NU lebih mengembalikan persoalan pada kitab-kitab (fikih) mu‘tabarah dengan mengedepankan qawl atau wajh yang dinilai telah siap guna (aplicable) daripada ayat-ayat apalagi hadis dengan alasan praktis. Namun, bukan berarti warga NU mengambil hadis tanpa seleksi sebagai pijakan. Dalam kajian hadis kaum nahdliyyin telah lama memiliki pusat kajian, yaitu Pesantren Tebuireng yang dipelopori oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Namun, pengembangannya belum mendapatkan tempat secara proporsional. Dalam banyak hal, sikap kaum nahdliyyin terhadap hadis menunjukkan tradisi intelektual yang belum terbiasa memerhatikan hadis dari aspek sanad meskipun sebenarnya hadis yang digunakan adalah valid (sahih), kecuali secara individual berasal dari warga NU. Bahkan, NU terkesan mengedepankan isi dan tujuan akhir. Sikap ini berkorelasi dengan tradisi pandangan dalam NU bahwa mengikuti pendapat ulama (dalam arti ittiba>‘ bukan taqlid) yang bersumber dari kitab-kitab mu‘tabarah lebih dominan dan diutamakan daripada penggunaan hadis sebagai referensi aktivitas dan pemecahan problem sosial dan keagamaan.