Abstract:
Multikulturalisme merupakan tantangan utama yang dihadapi oleh agama-agama di dunia sekarang ini, mengingat setiap agama sesungguhnya muncul dari lingkungan keagamaan dan kebudayaan yang plural. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang sangat pluralis dan bahkan multikulturalis, karena negeri ini terdiri atas berbagai etnis, bahasa, agama, budaya, kultur, dan lain sebagainya. Keragaman kultur tersebut dirumuskan dalam bentuk semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya sekalipun berbedabeda tetapi tetap satu. Secara sosio-historis, hadirnya Islam di Indonesia juga tidak bisa lepas dari konteks multikultural sebagaimana yang bisa dibaca dalam sejarah masuknya Islam ke Nusantara yang dibawa oleh Walisongo. Selanjutnya, menjadikan Islam multikultural sebagai topik atau wacana masih menarik dan perlu disebarluaskan. Hal ini setidaknya karena tiga alasan. Pertama, situasi dan kondisi konflik. Di tengah-tengah keadaan yang sering konflik, Islam multikultural menghendaki terwujudnya masyarakat Islam yang cinta damai, harmonis, dan toleran. Karenanya, cita-cita untuk menciptakan dan mendorong terwujudnya situasi dan kondisi yang damai, tertib, dan harmonis menjadi agenda penting bagi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Kedua, realitas yang beragam. Ke-bhinneka-an agama, etnis, suku, dan bahasa menjadi keharusan untuk disikapi oleh semua pihak, terutama umat Islam di Indonesia. Sebab, tanggung jawab sosial bukan hanya ada pada pemerintah, tetapi juga umat beragama. Dengan lain kata, damai-konfliknya masyarakat juga bergantung pada kontribusi penciptaan suasana damai oleh umat beragama, termasuk kaum muslimin di negeri ini. Robert N. Bellah, sosiolog agama dari Amerika Serikat mengatakan bahwa melalui Nabi Muhammad saw. di Jazirah Arab, Islam telah menjadi peradaban multikultural yang amat besar, dahsyat, dan mengagumkan hingga melampaui kebesaran negeri lahirnya Islam sendiri, yaitu Jazirah Arab. Pada konteks ini, toleransi dan sikap saling menghargai karena perbedaan agama perlu terus dijaga dan dibudayakan. Ketiga, norma agama. Sebagai sebuah ajaran luhur, tentu agama menjadi dasar yang kuat bagi kaum agamawan pada umumnya untuk membuat kondisi agar tidak carut-marut. Dalam hal ini, tafsir agama diharapkan bukan semata-mata mendasarkan pada teks, tetapi juga konteks agar maksud teks bisa ditangkap sesuai makna zaman. Perdebatan antara aliran ta‘aqquli yang mendasarkan pada kekuatan rasio/akal dan aliran ta‘abbudi yang menyandarkan pada aspek teks telah diwakili oleh dua aliran besar, yaitu Mu’tazilah dan Asy’ariyah, bisa menjadi pelajaran masa lalu yang amat menarik.