Abstract:
Terjadinya konflik antar dan intern umat beragama menghiasi pemberitaan media massa cetak dan elektronik setiap jengkal detik di negeri ini. Konflik tersebut dipicu oleh hal-hal yang sangat sederhana hingga persoalan besar di tengah masyarakat. Bahkan, sudah menjadi kelaziman jika sebuah desa terdapat multi-pemeluk agama atau aliran dalam agama, sudah hampir dipastikan yang terjadi konflik, baik konflik terbuka, semi terbuka, maupun konflik tertutup. Hal tersebut bukan berarti terjadi “pukul rata” bahwa selalu terjadi konflik jika terdapat sebuah komunitas yang terdapat multi-pemeluk agama. Sebagaimana terjadi di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus pada 2012, warga berjumlah 4.327 jiwa, mayoritas muslim, umat Kristiani 16 orang, Buddhis 40 orang, dan pemeluk aliran Ahmadiyah 14 KK yang berada di satu kelurahan dan masing-masing memiliki tempat ibadah yang saling berdekatan, tetapi penuh dengan kedamaian. Interaksi yang positif terwujud di Desa Colo karena terciptanya harmoni interaksi sosial, terwujudnya empati sosial, dan terantisipasinya perilaku agresif. Semua itu terwujud karena kesamaan kepentingan untuk menjunjung tinggi kesederajatan sebagai sesama umat manusia. Faktor pendukung kerukunan terwujud karena antar pemeluk agama dan atau intern agama yang berbeda aliran terdapat hubungan persaudaraan (genealogis), terjadi simbiosis mutualisme di bidang perekonomian, pemahaman dalam batin antar pemeluk agama dan atau intern agama yang berbeda aliran diwujudkan dalam kehidupan dengan mengedepankan persamaan kebutuhan dan menafikan konflik yang dipicu oleh perbedaan keyakinan dan agama, pola pikir antar pemeluk agama dan atau intern agama yang berbeda aliran terjauhkan dari sikap negatif. Tidak terjadi konflik antar pemeluk agama dan aliran karena tidak adanya loko dan pemicu konflik, sumber konflik tertangani, perilaku agresif yang terantisipasi, dan faktor pemicu kekerasan teredam. Kerukunan sebagai kebutuhan bersama yang difasilitasi secara bersama-sama antara warga, tokoh, dan perangkat pemerintahan. Warga mayoritas tidak mudah tersulut pemberitaan media dan gosip yang tertebar setiap saat untuk menerkam yang minoritas. Terwujudnya toleransi beragama antar dan intern umat beragama dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pendekatan budaya dan keharmonisan sosial. Dengan demikian, pendekatan yang menggunakan aspek keamanan secara alami ternafikan.