Abstract:
RANTI OKTAVIANI, NIM. 13201028 Judul Skripsi “TESTIMONIUM DE AUDITU DALAM PERKARA PERCERAIAN (ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SAWAHLUNTO)”. Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar.
Pada penelitian ini, penulis membahas tentang testimonium de auditu sebagai alat bukti dalam perkara perceraian di depan persidangan Pengadilan Agama Sawahlunto. Penelitian ini dibatasi lingkupan tentang pertimbangan hakim dalam menerima kesaksian de auditu sebagai alat bukti di depan persidangan Pengadilan Agama Sawahlunto. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana pertimbangan hakim dalam menerima kesaksian de auditu sebagai alat bukti di depan persidangan Pengadilan Agama Sawahlunto dan menjelaskan bagaimana kesaksian de auditu sebagai alat bukti di depan persidangan Pengadilan Agama Sawahlunto menurut Hukum Islam dan Hukum Acara Peradilan Agama.
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah berupa penelitian lapangan (field research) yaitu melihat kenyataan yang ada di lapangan mengenai Testimonium De Auditu dalam perkara perceraian (analisis terhadap putusan Pengadilan Agama Sawahlunto). Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data primer diperoleh langsung dari responden, yaitu majelis hakim Pengadilan Agama Sawahlunto, kemudian sumber data sekunder yaitu data kedua yang merupakan pelengkap meliputi buku-buku yang berkaitan dengan pokok pembahasan. Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah melalui wawancara dan dokumentasi. Pengolahan data dilakukan secara deskriptif kualitatif terhadap aspek masalah tertentu dan memaparkan melalui kalimat yang efektif.
Hasil penelitian penulis dapat simpulkan adalah pertama, pertimbangan hakim dalam menerima kesaksian de auditu sebagai alat bukti dalam perkara perceraian di depan persidangan Pengadilan Agama Sawahlunto adalah karena majelis hakim berpedoman kepada Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 239 K/Sip/1973 tanggal 25 November 1975. Dalam putusan ini, MA membenarkan testimonium de auditu secara eksepsional sebagai alat bukti, apabila saksi memberikan keterangan dengan sumpah. Keterangan itu diterima sebagai alat bukti yang berdiri sendiri mencapai batas minimal pembuktian tanpa memerlukan bantuan alat bukti lain apabila saksi de auditu itu terdiri dari beberapa orang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa pengertian beberapa (/be-be-ra-pa/) adalah jumlah yang tidak tentu banyaknya (bilangan lebih dari dua, tetapi tidak banyak). Namun dalam ketiga putusan Pengadilan Agama Sawahlunto hakim hanya menerima kesaksian de auditu yang terdiri dari dua orang saksi sebagai alat bukti yang berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan alat bukti lain. Berdasarkan wawancara yang dilakukan, majelis hakim pun tidak mengetahui tentang perkara apa yang dijadikan oleh Mahkamah Agung dalam memutuskan putusan Nomor 239 K/Sip/1973 tanggal 25 November 1975, disini terlihat bahwa hakim Pengadilan Agama Sawahlunto dalam menerima kesaksian de auditu sebagai alat bukti didepan persidangan hanya melihat penggunaan testimonium de auditu saja, hakim tidak mendalami dan mengetahui kejelasan tentang putusan Mahkamah Agung tersebut. Kedua, bila dilihat dari hukum Islam, putusan Pengadilan Agama Sawahlunto tentang kesaksian de auditu dalam perkara perceraian tidak sesuai dengan konsep Peradilan Islam, dimana sebagian besar ulama hanya mempergunakan saksi istifadhah (testimonium de auditu) dalam hal-hal yang berhubungan dengan nasab, kelahiran, kematian, memerdekakan budak, perwalian, diangkatnya menjadi hakim, mengundurkan diri menjadi hakim, wakaf, nikah beserta seluruh masalahnya, keadilan seseorang, cacat pribadi seseorang, wasiat, kecerdasan dan kebodohan seseorang dan masalah-masalah yang berhubungan dengan hak milik seseorang. Sedangkan dilihat dari Hukum Acara Peradilan Agama, putusan Pengadilan Agama Sawahlunto tentang kesaksian de auditu dalam perkara perceraian telah terjadi pelanggaran terhadap aturan yang ada, seharusnya kesaksian de auditu dapat diterima sebagai alat bukti yang berdiri sendiri apabila terdiri dari beberapa orang, namun disini hakim hanya menerima dua orang saksi de auditu saja sebagai alat bukti yang berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan alat bukti lain. Sehingga dari ketiga putusan Pengadilan Agama Sawahlunto ini hakim secara tidak langsung telah menerima kesaksian de auditu sebagai alat bukti diluar kebolehan penggunaan testimonium de auditu yaitu berdasarkan Putusan MA Nomor 239 K/Sip/1973 tanggal 25 November 1975, Putusan MA Nomor 308 K/Pdt/1959 tanggal 11 November 1959 dan Putusan MA Nomor 818 K/ Sip/1983 tanggal 13 Agustus 1984.